Taipei, 13 Oktober 2008 07:22
Kota Taipei di pagi hari, sangat sibuk. Banyak orang yang memulai kegiatannya hari ini. Aku memandang berkeliling, banyak orang yang berangkat ke kantor, para remaja dengan menggunakan seragam sekolah, anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari menyambut pagi, juga para orang tua berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan kota pagi hari. Taipei memang berbeda dengan Jakarta. Disini kota bersih tanpa polusi. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, merasakan angin sejuk Taipei menerpa wajahku.
Ini adalah hari pertama aku menikmati liburanku disini. Semester kemarin aku mendapat juara kedua lomba Olimpiade astronomi yang diselenggarakan di Beijing sebagai perwakilan Indonesia. Sebagai hadiahnya saat libur panjang sekolah, aku diberi kebebasan oleh orangtuaku untuk memilih negara mana yang ingin kukunjungi, tanpa pikir panjang aku segera menjawab Taiwan. Walaupun aku sering pergi ke Guang Zhou, Beijing, dan sebagian kota kecil di China, aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di Taiwan. Karena terbiasa hidup mandiri, maka kali ini orangtuaku tidak ikut kemari. Mereka tetap tinggal di Jakarta. Aku akan menikmati liburanku seorang diri. Biarpun sepi, tapi aku merasa puas. Hal ini sudah lama kunanti-nantikan. Berpetualang di negeri orang???? Waaaooww hebat!!!!!!
Aku mengambil secarik kertas dari celana jeansku, membaca coretan yang ada disitu. Agendaku hari ini adalah mengunjungi Gao Xiong. Berarti sekarang aku harus menuju stasiun untuk naik MRT petama agar bisa sampai disana.
Pletak!
“Adduuuuuhhh…!!!” pekikku tertahan. Sebuah botol minuman kaleng terlempar dan mengenai kepalaku. Aku melotot, mencari seseorang yang melemparkan botol itu tepat di kepalaku. Aku menoleh ke belakang, seorang pemuda kira-kira seumuran denganku melambaikan tangan sambil cekikikan. Tanpa basa-basi aku segera menghampirinya dengan perasaan jengkel. Siapa dia? Kenapa berbuat itu padaku? Salah apa aku? Aku sudah berada di depannya, diam, meminta penjelasan atas apa yang ia lakukan padaku barusan. Rupanya dia sadar diri dengan kediamanku. Ia angkat bicara duluan.
“Hei, apa kamu punya uang?” pertanyaan yang aneh. Demi Tuhan, kenal aja nggak brani banget nih cowok minta-minta uang? Emang dia pengemis?
“Nggak punya! Emang aku kelihatan kayak pohon duit?” kataku kesal. Ia tersenyum. Jujur, senyumnya maniiiisssssss sekali.
“Oh jadi kamu nggak punya uang? Kalau gitu aku bakalan ngikutin kamu!”
Hah? Apa? Nggak salah dengar nih? Dia ngikutin aku? Emang dia ekorku? Aku jadi ilfil berat, kata-kataku yang mengatakan senyumnya manis sekali kucabut.
Aku akhirnya tidak menggubris pria aneh ini, aku kembali berjalan. Tapi si curut satu ini malah mengikutiku. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Dengan perasaan dongkol akhirnya aku bertanya apa maunya. Dia malah menceritakan kisah perjalanannya. Namanya Lee, anak pengusaha kaya di Guang Zhou yang kabur dari rumah. Dia memiliki tabungan untuk pelariannya, tapi apesnya setelah sampai di kota ini semua kartu kreditnya di bekukan oleh ayahnya, dengan kata lain dia tidak punya uang sepeserpun. Parahnya, sekarang dia ingin menjadi ekorku. Lelucon apa ini? Tapi kasihan juga. Aku kan masih punya hati nurani.
Gara-gara Lee akhirnya perjalananku ke Gao Xiong batal. Aku malah sibuk mengurus cowok satu ini mulai dari makan, sampai mencarikan rumah kontrakan yang paling murah. Semua pakai uangku, bayangkan saja?? Huh, dia sangat berutang budi padaku. Kalau bisa nanti aku akan minta ganti rugi pada ayahnya yang kaya itu. Hahaha..
Kenapa aku tertawa, harusnya aku menangis kan? Uangku jadi menipis. Tapi Lee melontarkan ide konyolnya. Ia menyarankan agar kami tinggal serumah agar biaya yang dikeluarkan lebih minim. Jelas aku menolak keras, tapi apa boleh buat, aku juga bukan pohon uang yang kemana-mana uang selalu berlimpah. Akhirnya aku menerima tawarannya. Jadilah seharian ini aku dan Lee sibuk mencari kontrakan yang paling murah dan sibuk memindahkan barang-barangku dari hotel ke kontrakan yang kusewa. Padahal aku hanya sebulan di Negara ini, tapi kenapa harus mengontrak rumah segala? Entahlah.
***
Tak terasa waktu terus berjalan, seiring berjalannya waktu aku menjadi lebih akrab dengan Lee. Kami sering mengunjungi tempat wisata disini, atau sekedar jalan-jalan santai di sore hari atau nongkrong di depan rumah sambil menikmati kopi panas. Tapi hanya satu yang kami inginkan, melihat kembang api di gedung 101. hanya sampai sekarang keinginan itu belum terwujud. Harus menunggu sampai tahun baru agar kami bisa menyaksikan kembang api yang indah itu. Tapi harapanku yang satu ini nggak mungkin bisa tercapai, tahun baru masih dua bulan lagi, sedangkan saat itu aku pasti sudah pulang ke Indonesia. Meskipun tinggal serumah, kami tidur di tempat berbeda. Lee di sofa ruang depan, sedangkan aku di kamar karena kamar disini hanya satu. Lee mendapat pekerjaan sebagai pelayan di toko roti. Karena wajah Lee yang tampan toko roti yang tadinya sepi itu mendadak ramai, pastilah para cewek yang membeli roti Cuma ingin melihat wajah Lee. Bahkan ada yang berani mengajak kencan dan Lee menerima ajakannya. Huh, kenapa aku harus membicarakan cowok itu?
Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir tengah malam tapi Lee belum juga kembali. Padahal biasanya ia datang tiga jam lebih awal. Entah kenapa aku merindukan suaranya, senyumnya, kerlingan matanya, dan segala sesuatu tentang dirinya. Apakah aku jatuh cinta? Ah, mungkin sekarang pikiranku sedang kacau.
***
Seminggu sudah Lee menghilang. Selama itu juga aku berusaha mencarinya, tapi tetap tak berhasil menemukan dimana keberadaannya. Aku hanya berpikir mungkin ia pulang karena nggak sanggup hidup pas-pasan denganku. Tapi kenapa pulang nggak pamit-pamit?
Aku mengepak barang-barangku ke dalam koper dan siap untuk kembali ke Indonesia. Tapi rasanya nggak rela meninggalkan Taipei sebelum aku berbicara dengan Lee, atau setidaknya memastikan Lee baik-baik saja. Aku berjalan menuju pintu depan, tetapi aku sudah dikejutkan oleh beberapa orang berpakaian hitam.
***
Rumah ini megah sekali bagai kerajaan yang berdiri kokoh dan tak akan hancur. Aku masih berdecak kagum saat seseorang menepuk bahuku.
“Anda Nona Dalyn?” Tanya seorang pria berumur 40 tahunan dengan nada berwibawa. Aku mengangguk. Wajahnya mirip dengan Lee. Ah, tentu saja, beliau pasti ayahnya.
Setelah berbasa-basi sedikit ayah Lee membawaku ke sebuah kamar. Kamar ini berukuran sangat luas, mungkin sepuluh kali lebih besar dari ukuran kamarku. Semua bernuansa biru dan banyak sekali catatan-catatan serta foto-foto yang tertempel di dinding. Di sudut ruangan aku melihat sosok yang sangat kukenal sedang membalik-balik sebuah album foto. Aku tersenyum, kemudian segera berlari ke arahnya.
“Hai?? Kenapa kamu pulang nggak ngasih tau aku sih? Aku bingung nyariin kamu terus! Kamu…” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, ayahnya sudah memotong.
“Dia Dalyn yang sering kamu ceritakan, Lee. Lihat foto itu baik-baik.”
Lee memandang foto yang dipegangnya dengan saksama kemudian memandangku. Ia tersenyum. Tapi aku masih bingung mengapa ayahnya berkata begitu.
“Lee menderita penyakit alzheimer, itu merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif. Penyakit ini bukannya sejenis penyakit menular. Tapi penyakit ini bisa membuat ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. Dalyn, cepat atau lambat Lee akan melupakan segalanya. Ia tidak akan bisa bicara, dan tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.”
Duaaarrrr!!! Seperti ada petir yang menyambar kepalaku, tubuhku merinding. Aku memandang Lee dengan perasaan campur aduk. Apakah Lee sekarang masih mengenalku?
Seperti bisa membaca pikiranku, Lee tersenyum kemudian berkata, “Aku mengingatmu, Dalyn. Apa jadinya aku besok, besok lusa, seminggu kemudian, sebulan kemudian, atau seterusnya nggak akan bisa menghapus namamu di hatiku. Mungkin aku bakal nggak ngenalin kamu, tapi kamu harus tau, seberapa parahnya aku nanti, di hatiku tetep ada kamu.” Seketika itu juga aku menangis dan memeluknya dengan erat. Aku tahu sekarang, aku memang jatuh cinta pada Lee.
***
Taipei, 31 Desember 2008 23:35
Kota Taipei di malam hari. Lampu-lampu kota menyinari jalan yang sudah dipenuhi oleh sebagian besar penduduk kota ini. Malam ini merupakan malam terakhir tahun 2008 dan tinggal beberapa menit lagi menuju tahun 2009. Banyak penduduk Taipei yang berkumpul di bawah gedung 101 untuk menanti dan menyaksikan kembang api tahun baru.
Aku baru tiba disini tadi pagi dengan penerbangan pertama dari Bandara Soekarno-Hatta. Aku ingin melalui malam tahun baru terindah disini, dengan orang yang aku sayangi. Sudah hampir dua bulan aku meninggalkan kota ini, dan hampir dua bulan juga aku selalu merindukan kota ini. Mataku berkelana, mencari sosok yang sangat kurindukan. Sulit sekali mencari di tengah keramaian seperti ini. Tapi aku tidak boleh menyerah. Tiba-tiba saja mataku mengakap sosok seorang pria menggunakan kursi roda. Pandangannya kosong, ia seperti tidak mempunyai jiwa. Seorang pria bersetelan jas hitam berumur 40 tahunan membantunya menjalankan kursi roda. Jantungku berdegup cepat. Sosok yang kurindukan sudah di depan mata, aku masih bisa mengingatnya. Aku segera berlari mendekatinya dan tanpa basa-basi segera memeluknya erat. ia hanya diam.
“Gimana kamu bisa ingat kalau kita pernah bikin janji bakal lihat kembang api tahun baru disini?” Lee hanya diam. Ia memandangku lama.
“Apa kita pernah kenal sebelumnya?”
Apa yang kutakutkan terjadi juga. Lee mulai melupakan aku, tidak, lebih tepatnya sudah melupakan aku! Hatiku bagai ditusuk ribuan belati. Aku menahan tangis.
“Dia hanya ingat kalau dia pernah membuat janji dengan seseorang untuk menyaksikan pesta kembang api.” Ayah Lee yang sedaritadi diam akhirnya angkat bicara. Aku mengangguk mengerti. Kemudian ayah Lee memberiku secarik kertas. Di kertas itu tertulis tulisan acak-acakan yang hamper tidak bisa dibaca. Kata ayah Lee, itu tulisan Lee. Aku membacanya perlahan, dengan jantung tetap berdegub kencang.
Malam tahun baru, menyaksikan kembang api di gedung 101
bersama seseorang yang telah mengubah hidupku.
Penuh cinta, Lee
Tangisku pecah. Aku memeluk Lee lebih erat lagi, tidak peduli ia mengenalku atau tidak. Yang jelas sekarang, ia ada dihadapanku. Semua orang mulai berteriak, menghitung mundur…
Sepuluh…
Sembilan…
Terimakasih karena sudah melupakanku.
Delapan…
Terimakasih karena sudah membuatku kebingungan dengan menghilangnya kamu.
Tujuh…
Terimakasih untuk semua kata-kata yang kamu ucapkan padaku.
Enam…
Terimakasih untuk mau menerimaku dalam hatimu.
Lima…
Terimakasih untuk mau mencintaiku.
Empat…
Terimakasih karena sudah mengingat janji kita.
Tiga…
Terimakasih karena memberiku tahun baru terindah.
Dua…
Terimakasih untuk semuanya.
Satu…
Duaarrrrr!!!
Dan kembang api berpendar di atas cakrawala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar