Senin, 06 Juni 2011

101 FIREWORKS (sebuah cerpen fiksi)

Taipei, 13 Oktober 2008 07:22

Kota Taipei di pagi hari, sangat sibuk. Banyak orang yang memulai kegiatannya hari ini. Aku memandang berkeliling, banyak orang yang berangkat ke kantor, para remaja dengan menggunakan seragam sekolah, anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari menyambut pagi, juga para orang tua berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan kota pagi hari. Taipei memang berbeda dengan Jakarta. Disini kota bersih tanpa polusi. Aku merentangkan tangan lebar-lebar, merasakan angin sejuk Taipei menerpa wajahku.
Ini adalah hari pertama aku menikmati liburanku disini. Semester kemarin aku mendapat juara kedua lomba Olimpiade astronomi yang diselenggarakan di Beijing sebagai perwakilan Indonesia. Sebagai hadiahnya saat libur panjang sekolah, aku diberi kebebasan oleh orangtuaku untuk memilih negara mana yang ingin kukunjungi, tanpa pikir panjang aku segera menjawab Taiwan. Walaupun aku sering pergi ke Guang Zhou, Beijing, dan sebagian kota kecil di China, aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di Taiwan. Karena terbiasa hidup mandiri, maka kali ini orangtuaku tidak ikut kemari. Mereka tetap tinggal di Jakarta. Aku akan menikmati liburanku seorang diri. Biarpun sepi, tapi aku merasa puas. Hal ini sudah lama kunanti-nantikan. Berpetualang di negeri orang???? Waaaooww hebat!!!!!!
Aku mengambil secarik kertas dari celana jeansku, membaca coretan yang ada disitu. Agendaku hari ini adalah mengunjungi Gao Xiong. Berarti sekarang aku harus menuju stasiun untuk naik MRT petama agar bisa sampai disana.
Pletak!
“Adduuuuuhhh…!!!” pekikku tertahan. Sebuah botol minuman kaleng terlempar dan mengenai kepalaku. Aku melotot, mencari seseorang yang melemparkan botol itu tepat di kepalaku. Aku menoleh ke belakang, seorang pemuda kira-kira seumuran denganku melambaikan tangan sambil cekikikan. Tanpa basa-basi aku segera menghampirinya dengan perasaan jengkel. Siapa dia? Kenapa berbuat itu padaku? Salah apa aku? Aku sudah berada di depannya, diam, meminta penjelasan atas apa yang ia lakukan padaku barusan. Rupanya dia sadar diri dengan kediamanku. Ia angkat bicara duluan.
“Hei, apa kamu punya uang?” pertanyaan yang aneh. Demi Tuhan, kenal aja nggak brani banget nih cowok minta-minta uang? Emang dia pengemis?
“Nggak punya! Emang aku kelihatan kayak pohon duit?” kataku kesal. Ia tersenyum. Jujur, senyumnya maniiiisssssss sekali.
“Oh jadi kamu nggak punya uang? Kalau gitu aku bakalan ngikutin kamu!”
Hah? Apa? Nggak salah dengar nih? Dia ngikutin aku? Emang dia ekorku? Aku jadi ilfil berat, kata-kataku yang mengatakan senyumnya manis sekali kucabut.
Aku akhirnya tidak menggubris pria aneh ini, aku kembali berjalan. Tapi si curut satu ini malah mengikutiku. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Dengan perasaan dongkol akhirnya aku bertanya apa maunya. Dia malah menceritakan kisah perjalanannya. Namanya Lee, anak pengusaha kaya di Guang Zhou yang kabur dari rumah. Dia memiliki tabungan untuk pelariannya, tapi apesnya setelah sampai di kota ini semua kartu kreditnya di bekukan oleh ayahnya, dengan kata lain dia tidak punya uang sepeserpun. Parahnya, sekarang dia ingin menjadi ekorku. Lelucon apa ini? Tapi kasihan juga. Aku kan masih punya hati nurani.
Gara-gara Lee akhirnya perjalananku ke Gao Xiong batal. Aku malah sibuk mengurus cowok satu ini mulai dari makan, sampai mencarikan rumah kontrakan yang paling murah. Semua pakai uangku, bayangkan saja?? Huh, dia sangat berutang budi padaku. Kalau bisa nanti aku akan minta ganti rugi pada ayahnya yang kaya itu. Hahaha..
Kenapa aku tertawa, harusnya aku menangis kan? Uangku jadi menipis. Tapi Lee melontarkan ide konyolnya. Ia menyarankan agar kami tinggal serumah agar biaya yang dikeluarkan lebih minim. Jelas aku menolak keras, tapi apa boleh buat, aku juga bukan pohon uang yang kemana-mana uang selalu berlimpah. Akhirnya aku menerima tawarannya. Jadilah seharian ini aku dan Lee sibuk mencari kontrakan yang paling murah dan sibuk memindahkan barang-barangku dari hotel ke kontrakan yang kusewa. Padahal aku hanya sebulan di Negara ini, tapi kenapa harus mengontrak rumah segala? Entahlah.
***
Tak terasa waktu terus berjalan, seiring berjalannya waktu aku menjadi lebih akrab dengan Lee. Kami sering mengunjungi tempat wisata disini, atau sekedar jalan-jalan santai di sore hari atau nongkrong di depan rumah sambil menikmati kopi panas. Tapi hanya satu yang kami inginkan, melihat kembang api di gedung 101. hanya sampai sekarang keinginan itu belum terwujud. Harus menunggu sampai tahun baru agar kami bisa menyaksikan kembang api yang indah itu. Tapi harapanku yang satu ini nggak mungkin bisa tercapai, tahun baru masih dua bulan lagi, sedangkan saat itu aku pasti sudah pulang ke Indonesia. Meskipun tinggal serumah, kami tidur di tempat berbeda. Lee di sofa ruang depan, sedangkan aku di kamar karena kamar disini hanya satu. Lee mendapat pekerjaan sebagai pelayan di toko roti. Karena wajah Lee yang tampan toko roti yang tadinya sepi itu mendadak ramai, pastilah para cewek yang membeli roti Cuma ingin melihat wajah Lee. Bahkan ada yang berani mengajak kencan dan Lee menerima ajakannya. Huh, kenapa aku harus membicarakan cowok itu?
Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir tengah malam tapi Lee belum juga kembali. Padahal biasanya ia datang tiga jam lebih awal. Entah kenapa aku merindukan suaranya, senyumnya, kerlingan matanya, dan segala sesuatu tentang dirinya. Apakah aku jatuh cinta? Ah, mungkin sekarang pikiranku sedang kacau.

***
Seminggu sudah Lee menghilang. Selama itu juga aku berusaha mencarinya, tapi tetap tak berhasil menemukan dimana keberadaannya. Aku hanya berpikir mungkin ia pulang karena nggak sanggup hidup pas-pasan denganku. Tapi kenapa pulang nggak pamit-pamit?
Aku mengepak barang-barangku ke dalam koper dan siap untuk kembali ke Indonesia. Tapi rasanya nggak rela meninggalkan Taipei sebelum aku berbicara dengan Lee, atau setidaknya memastikan Lee baik-baik saja. Aku berjalan menuju pintu depan, tetapi aku sudah dikejutkan oleh beberapa orang berpakaian hitam.
***
Rumah ini megah sekali bagai kerajaan yang berdiri kokoh dan tak akan hancur. Aku masih berdecak kagum saat seseorang menepuk bahuku.
“Anda Nona Dalyn?” Tanya seorang pria berumur 40 tahunan dengan nada berwibawa. Aku mengangguk. Wajahnya mirip dengan Lee. Ah, tentu saja, beliau pasti ayahnya.
Setelah berbasa-basi sedikit ayah Lee membawaku ke sebuah kamar. Kamar ini berukuran sangat luas, mungkin sepuluh kali lebih besar dari ukuran kamarku. Semua bernuansa biru dan banyak sekali catatan-catatan serta foto-foto yang tertempel di dinding. Di sudut ruangan aku melihat sosok yang sangat kukenal sedang membalik-balik sebuah album foto. Aku tersenyum, kemudian segera berlari ke arahnya.
“Hai?? Kenapa kamu pulang nggak ngasih tau aku sih? Aku bingung nyariin kamu terus! Kamu…” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, ayahnya sudah memotong.
“Dia Dalyn yang sering kamu ceritakan, Lee. Lihat foto itu baik-baik.”
Lee memandang foto yang dipegangnya dengan saksama kemudian memandangku. Ia tersenyum. Tapi aku masih bingung mengapa ayahnya berkata begitu.
“Lee menderita penyakit alzheimer, itu merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif. Penyakit ini bukannya sejenis penyakit menular. Tapi penyakit ini bisa membuat ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. Dalyn, cepat atau lambat Lee akan melupakan segalanya. Ia tidak akan bisa bicara, dan tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.”
Duaaarrrr!!! Seperti ada petir yang menyambar kepalaku, tubuhku merinding. Aku memandang Lee dengan perasaan campur aduk. Apakah Lee sekarang masih mengenalku?
Seperti bisa membaca pikiranku, Lee tersenyum kemudian berkata, “Aku mengingatmu, Dalyn. Apa jadinya aku besok, besok lusa, seminggu kemudian, sebulan kemudian, atau seterusnya nggak akan bisa menghapus namamu di hatiku. Mungkin aku bakal nggak ngenalin kamu, tapi kamu harus tau, seberapa parahnya aku nanti, di hatiku tetep ada kamu.” Seketika itu juga aku menangis dan memeluknya dengan erat. Aku tahu sekarang, aku memang jatuh cinta pada Lee.

***
Taipei, 31 Desember 2008 23:35

Kota Taipei di malam hari. Lampu-lampu kota menyinari jalan yang sudah dipenuhi oleh sebagian besar penduduk kota ini. Malam ini merupakan malam terakhir tahun 2008 dan tinggal beberapa menit lagi menuju tahun 2009. Banyak penduduk Taipei yang berkumpul di bawah gedung 101 untuk menanti dan menyaksikan kembang api tahun baru.
Aku baru tiba disini tadi pagi dengan penerbangan pertama dari Bandara Soekarno-Hatta. Aku ingin melalui malam tahun baru terindah disini, dengan orang yang aku sayangi. Sudah hampir dua bulan aku meninggalkan kota ini, dan hampir dua bulan juga aku selalu merindukan kota ini. Mataku berkelana, mencari sosok yang sangat kurindukan. Sulit sekali mencari di tengah keramaian seperti ini. Tapi aku tidak boleh menyerah. Tiba-tiba saja mataku mengakap sosok seorang pria menggunakan kursi roda. Pandangannya kosong, ia seperti tidak mempunyai jiwa. Seorang pria bersetelan jas hitam berumur 40 tahunan membantunya menjalankan kursi roda. Jantungku berdegup cepat. Sosok yang kurindukan sudah di depan mata, aku masih bisa mengingatnya. Aku segera berlari mendekatinya dan tanpa basa-basi segera memeluknya erat. ia hanya diam.
“Gimana kamu bisa ingat kalau kita pernah bikin janji bakal lihat kembang api tahun baru disini?” Lee hanya diam. Ia memandangku lama.
“Apa kita pernah kenal sebelumnya?”
Apa yang kutakutkan terjadi juga. Lee mulai melupakan aku, tidak, lebih tepatnya sudah melupakan aku! Hatiku bagai ditusuk ribuan belati. Aku menahan tangis.
“Dia hanya ingat kalau dia pernah membuat janji dengan seseorang untuk menyaksikan pesta kembang api.” Ayah Lee yang sedaritadi diam akhirnya angkat bicara. Aku mengangguk mengerti. Kemudian ayah Lee memberiku secarik kertas. Di kertas itu tertulis tulisan acak-acakan yang hamper tidak bisa dibaca. Kata ayah Lee, itu tulisan Lee. Aku membacanya perlahan, dengan jantung tetap berdegub kencang.

Malam tahun baru, menyaksikan kembang api di gedung 101
bersama seseorang yang telah mengubah hidupku.
Penuh cinta, Lee

Tangisku pecah. Aku memeluk Lee lebih erat lagi, tidak peduli ia mengenalku atau tidak. Yang jelas sekarang, ia ada dihadapanku. Semua orang mulai berteriak, menghitung mundur…
Sepuluh…
Sembilan…
Terimakasih karena sudah melupakanku.
Delapan…
Terimakasih karena sudah membuatku kebingungan dengan menghilangnya kamu.
Tujuh…
Terimakasih untuk semua kata-kata yang kamu ucapkan padaku.
Enam…
Terimakasih untuk mau menerimaku dalam hatimu.
Lima…
Terimakasih untuk mau mencintaiku.
Empat…
Terimakasih karena sudah mengingat janji kita.
Tiga…
Terimakasih karena memberiku tahun baru terindah.
Dua…
Terimakasih untuk semuanya.
Satu…
Duaarrrrr!!!
Dan kembang api berpendar di atas cakrawala.

Jumat, 03 Juni 2011

Oleh-Oleh dari Makassar

Tanggal 9 Mei 2011, aku, Cyntia, Jandhika, dan Feli beribur ke Ujung Pandang (Makassar), Sulawesi Selatan. Kami belum pernah kesana sebelumnya, dan ini merupakan pengalaman pertama kami pergi jauh sendiri  tanpa diawasi oleh orangtua. 

Berawal dari keberangkatan yang terlambat karena pesawat harus di delay selama 3 jam!!  Kami harus menunggu di bandara Juanda selama itu. Sampai akhirnya pada jam 13.45 pesawat take off dan kami pun terbang menuju Makassar dengan penerbangan GA 070. Kami tiba di Bandara Hassanudin Makassar pukul 16.00, karena selisih waktu WIB dan WITA adalah satu jam. Pertama kali menginjakkan kaki di pulau Sulawesi, kami sudah disambut dengan hawa yang begitu panas. Sangat berbeda dengan hawa di Malang. Seolah-olah matahari tepat berada di sebelah kami dan siap membakar kami. Tapi itu tidak mengendorkan semangat kami untuk menjelajahi kota Makassar.
Dari Bandara Internasional Hassanudin, kami dijemput oleh pihak penginapan dan langsung di antar ke penginapan. Penginapan itu sungguh strategis, teretak di dekat Pantai Losari di Jalan Bontomarangu (BOMAR) dan sangat dekat dengan pusat perbelanjaan Somba Opu. Setelah tiba di penginapan kami beristirahat sejenak karena masih jet lag. Malam harinya, kami berencana pergi ke Mall Ratu Indah (MARI) yang ditempuh sekitar 10 menit dari penginapan dengan menggunakan taksi. Kalau ditanya soal biaya taksi, mungkin harganya relative sama seperti di Malang. Hhmmm.. saat kami tiba di MARI, kami mulai berkeliling dan tujuan awal kami adalan mencari makan. Kami memutuskan untuk makan di es teller 77 yang terletak dilantai 2 MARI (kalau nggak salah…soalnya aku juga lupa-lupa ingat). Setelah kenyang, kami berkeliling lagi. Sempat melirik counter gosh, kami pun tertarik menuju kesana. Gilaaa….harganya lebih murah daripada gosh yang di Malang. Pingin beli, tapi juga harus lihat kondisi keuangan. Akhirnya niat beli sepatu pun batal. Hari esok masih panjang dan pasti membutuhkan biaya yang banyak juga. Setelah pulang dari MARI, kamipun menutup hari ini dengan kembali ke penginapan.  

Tanggal 10 Mei 2011, kami mengawali hari dengan serangkaian rencana perjalanan berikutnya. Hari itu kami berencana pergi ke Pantai Losari dan Trans Studio Theme Park. Kami berjalan dari penginapan menuju Losari. Kami merasa seperti sedang berada di Legian dan akan menuju ke Kuta. Suasananya sungguh mirip seperti di Bali. Sampai di Pantai Losari ternyata masih sepi (mungkin karena masih pagi). Disana kami berfoto-foto ria. Tiba-tiba ada ibu-ibu tua yang menawarkan kami untuk naik perahu berkeliling pantai. Biayanya sekali berkeliling adalah 50.000. akhirnya kami memutuskan untuk patungan



Setelah puas menjelajahiPantai Losari, kami makan coto Makassar di depot dekat Pantai. Rasanya jelas beda seperti coto Makassar yang dijual di Malang. Di sini rasanya lebih mantab…. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA. Kami segera menuju ke Trans studio theme park. Saat kami masuk ke lokasi dengan menggunakan studio pass, disana masih sepi. Kami dengan bebas berfoto dan bermain, tapi sayang 6 wahana utama yaitu Boiskop 4D, Kids Studio, Magic Thunder Coaster, Dragon’s Tower, Jelajah, dan Dunia Lain masih dibuka jam 12.  Kami menunggu sambil bermain permainan yang lain seperti Grand Esia Studio View, Putar Petir, Ayun Ombak, Angin Beliung, Bom-Bom Car, Sepeda Terbang, Rimba Express, Safari Track, dan melihat-lihat souvenir di trans studio store. Oh ya, selama disana kami juga bertemu dengan manusia-manusia berkostum aneh dan juga mascot Trans studio. Kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama mereka. 




Tak terasa kami sudah bermain di trans studio cukup lama. Kami mulai kelelahan dan memutuskan untuk pulang, tapi sebelum pulang, kami menyempatkan berkeliling mall trans yang sangat besar itu. Setelah tiba di penginapan, ternyata perjalanan kami belum selesai. Kami penasaran dengan Mall Panakukang yang dibilang mall terbesar di Makassar itu. Akhirnya kami memutuskan pergi kesana. Panakukang Mall letaknya agak jauh, mungkin ditempuh dengan waktu perjalanan 20 menit. saat melihat secara langsung, mall itu memang sangat besar karena marupakan gabungan dari dua mall sekaligus. Tapi entah kenapa kami lebih tertarik dengan MARI meskipun disana lebih kecil. Karena kondisi yang sudah sangat kelelahan, kami pun hanya sebentar disana (belum sempat mengelilingi seluruh mall, mungkin Cuma seperempatnya aja). Kami kembali ke penginapan dan beristirahat untuk mempersiapkan berjalanan kami selanjutnya. 

Tanggal 11 Mei 2011, rencana awal perjalanan hari ini adalah ke Fort Rotterdam. Untuk menuju kesana hanya dibutuhkan waktu tidak sampai lima menit. Disana merupakan benteng peninggalan kerajaan Gowa-Tallo. Kami hanya berfoto sebentar dan melihat-lihat peninggalan kerajaan jaman dulu di museum La Galogi yang letaknya di dalam Fort Rotterdam. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju pulau Khayangan dan Pulau Samalona. Untuk menuju kesana kami harus menyewa perahu mesin seharga 250ribu. Tapi nggak mengecewakan kok, selama perjalanan menggunakan perahu (perjalanannya cukup lama), kami bias melihat panorama laut yang indah. Kami juga bertemu dengan kapal penumpang yang besar-besar. Sungguh asyik berada di dalam perahu apalagi saat tiba-tiba ada ombak kecil yang menerjang perahu kami dan perahu itu hamper oleng. Sampai di Samalona Island, kami sudah disambut dengan pemandangan yang menakjubkan.kami langsung berfoto-foto dan mencari kerang. tiba-tiba ada ibu-ibu tua menghampiri kami menawarkan peralatan snorkling, sayangnya saat itu sudah sore dan kami malas basah-basahan. akhirnya disana kami hanya minum es kelapa muda dan memesan ikan bakar. ikan yang dijual disana biasanya baru diambil dari laut sehingga rasanya sangat enak. setelah menunggu cukup lama, akhirnya ikan bakar pesanan kami datang. yang kami makan adalah ikan napoleon dan barona, harganya 20.000 per ekor. sementara kalau mau makan tambah nasi, sambal, buah, minum, dan sayur, kami harus menambah biaya 70.000 (maha banget yaa?)




perjalanan kami berlanjut ke Pulau khayangan. Ternyata disana perahu mesin yang kami tumpangi harus berjalan dengan pelan karena melewati rumput laut yang dapat kami lihat dari atas perahu. tapi kami memutuskan untuk tidak turun ke pulau, karena kami sudah kelelahan. kami hanya meihat pulau itu di atas perahu. kalau dibandingkan dengan pulau Samaona, jelas lebih bagus di samalona.
perjalanan kami pun hampir berakhir hari itu. kami tiba di penginapan saat hampir senja. kami beristirahat sejenak dan mandi sebelum melanjutkan perjalanan untuk berbelanja oleh-oleh. kami berbelanja di daerah Somba Opu. letaknya disebelah Pantai Losari. kami hanya berjalan kaki kesana. banyak sekali barang-barang yang ingin kami beli. kebanyakan adalah souvenir khas Tana Toraja, pakaian-pakaian khas bertuliskan Makassar, markisa khas makassar, songket, dan masih banyak agi barang-barang yang bagus-bagus. tapi harga-harga barang disana lebih mahal jika dibandingkan dengan di Pasar Sukowati, Bali. untuk kaos saja paling rumah sekitar 35.000 dan tidak bisa ditawar, sedangkan di Sukowati kita bisa mendapatkan sebuah kaos dengan harga 15.000 bahkan 10.000 jika kita pandai menawar harga. tapi memang kualitasnya lebih bagus jika harganya lebih mahal. 
puas berbelanja, kami kembali mencoba kuliner khas Makassar. kali ini kami berhenti di sebuah resto di somba opu. disana kami memesan Barobo dan koledo. Barrobo adalah bubur jagung yang berasal dari Bugis, sedangkan Kaledo itu seperti sup hanya dagingnya dari daging tulang kaki lembu. kalau soa rasa, mungkin bagi kami rasanya agak aneh karena lidah kami belum terbiasa. Tapi tetap saja enak, karena saat itu kami sudah sangat kelaparan. hehehehe....






setelah kenyang, kami menuju penginapan untuk beristirahan dan mempersiapkan untuk kepulangan kami ke Malang esok harinya. 
Tanggal 12 Mai 2011, kami hanya mempersiapkan kepulangan kami karena pesawat harus take off sekitar pukul 11. paginya kami hanya berjalan di sekitar Pantai Losari untuk makan pagi. kami kembali makan coto makassar karena coto makassar disini sangat enak. setelah makan, kami sudah ditunggu mobil untuk diantar ke Bandara Internasional Hassanudin. 
Ituah hari terakhir kami di tanah Sulawesi. Sungguh pengalaman yang luar biasa dan tidak akan terlupakan.


Kamis, 02 Juni 2011

Amazing Grace of My Life

Pernahkah kamu merasakan di ambang kematian? Kalau pernah, bagaimana rasanya? Aku aku pernah mengalaminya, teman! Dan aku akan menceritakan kisahku padamu.

Saat itu aku hanya melihat gelap, tanpa ingatan apa-apa, tanpa merasakan apa-apa. Duniaku hilang dalam sekejabm tak ada oksigen disini, teriakpun aku tak bisa. Aku mencari, tapi tak tau apa yang aku cari, dan aku kehilangan arah. Lagi-lagi hanya gelap yang kudapati. Dan aku hanya bisa menunggu. Mungkin menunggu keajaiban.

Tiba-tiba aku melihat cahaya, cahaya yang datang dari sudut memantul menyilaukan mata. Tapi semuanya disertai rasa nyeri yang amat sangat. Nyeri dimana-mana. Sakit sekali. Semakin membuat tak berdaya.

Kelopak mataku mulai mengerjab. Aku bingung. Tidak tahu apa-apa.

Tapi aku sangat yakin jika kamu menjadi aku, saat itu secara spontan kamu akan mendapati dirimu bersyukur pada Tuhan. Walau kamu tau selang oksigen sedang menancap di hidungmu, walau kamu kehilangan salah satu atau salah dua dari panca indramu, walau kamu tak lagi utuh layaknya manusia yang terlahir normal. Kamu tidak akan mengutuki Tuhan atas apa yang terjadi padamu.
Karena itulah yang aku lakukan, teman. Aku hanya bersyukur karena ternyata aku masih hidup. Meskipun saat itu aku tidak tau apa yang terjadi padaku.

Aku melihat di sekitarku, ruangan ini UGD. Aku tau karena banyak sekali tangisan dan jeritan dari orang-orang yang sedang sekarat. Aku baru tau, betapa setetes obat sangat penting untuk menyelamatkan sebuah nyawa, betapa beratnya tugas seorang dokter, dan yang paling penting, betapa maha besarnya Tuhan. Dari sini banyak nyawa diselamatkan, meski kadang ada yang tidak bisa diselamatkan. Tapi mungkin UGD adalah sebuah tempat pengharapan. Pengharapan akan adanya mujizat, keajaiban, dan kesembuhan. Seperti yang telah kualami.

Setelah itu, aku dipindahkan ke ruang lain. Aku sempat melihat orang tuaku walaupun kondisiku masih lemah. Dari situ baru jelas semuanya. Aku mengalami kecelakaan. Kecelakaan hebat yang harus membuat aku terkapar di rumah sakit selama satu bulan, yang harus membuat aku menjalani operasi sebanyak empat kali, yang harus membuat aku berhenti sekolah selama satu tahun karena kondisiku yang belum memungkinkan untuk melanjutkan sekolah, dan yang harus membuat aku menjadi seseorang yang lebih tegar dan lebih kuat karena begitu banyak tekanan mental yang kualami.

Itu kisahku teman, dan dari sini aku bisa belajar memaknai kehidupan. Betapa pentingnya sebuah nyawa. Coba kalau saat itu aku sudah dipanggil oleh Tuhan, mungkin sekarang aku tidak bisa membagikan pengalamanku padamu.

Aku hanya ingin kamu menghargai hidupmu yang sekarang, dengan atau tanpa masalah yang melanda kamu. Cobalah selalu tersenyum dalam menghadapi semua masalahmu, karena itu akan membawa kedamaian bagimu. Dan selalu andalkan Tuhan dalam tiap langkah hidupmu. Jangan sia-siakan hidupmu. Sebab kalau kamu sudah mati, tidak ada lagi tiket untuk kembali ke dunia.